ATSI Tegaskan Pemerintah Harus Perhatikan Dampak Sosial Lelang Pita Frekuensi 700 MHz

Rabu, 24 Desember 2025 | 12:20:50 WIB
ATSI Tegaskan Pemerintah Harus Perhatikan Dampak Sosial Lelang Pita Frekuensi 700 MHz

JAKARTA - Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) menekankan pentingnya mempertimbangkan aspek sosial saat pemerintah melelang pita frekuensi 700 MHz. Frekuensi low-band ini dinilai strategis karena mampu menjangkau wilayah luas dengan cakupan sinyal yang stabil.

Direktur Eksekutif ATSI, Marwan O. Baasir, menyebut frekuensi 700 MHz menjadi kunci untuk menyediakan akses internet di daerah rural dan wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). “Mematok harga tinggi pada pita 700 MHz dapat menghambat pemerataan akses masyarakat di wilayah pelosok,” ujarnya dalam Bisnis Indonesia Forum (BIF), Selasa, 23 Desember 2025, di Wisma Bisnis Indonesia.

Nilai Sosial Lebih Tinggi Dibanding Nilai Ekonomi

Menurut Marwan, dampak sosial dari pita 700 MHz jauh lebih besar dibandingkan nilai ekonomi teknisnya. Harga tinggi berisiko menunda pembangunan jaringan di wilayah yang membutuhkan akses internet paling mendesak.

Selain itu, ia menyarankan agar frekuensi low-band ini ditawarkan lebih murah dibandingkan pita kapasitas seperti 2,1 GHz. Strategi harga yang lebih rendah dapat mendorong operator untuk memperluas layanan tanpa terbebani biaya spektrum yang mahal.

Insentif untuk Operator di Daerah Terpencil

Marwan juga menekankan pentingnya insentif bagi operator yang membangun jaringan di wilayah terpencil. "Operator yang berkomitmen membangun di daerah terpencil disarankan mendapatkan insentif berupa pengurangan BHP," katanya.

Insentif ini dianggap sebagai kompensasi adil atas tingginya biaya pembangunan infrastruktur di medan sulit. Dengan mekanisme ini, operator dapat lebih leluasa mengalokasikan modal untuk pengembangan jaringan awal.

Selain frekuensi 700 MHz, ATSI mendesak pemerintah untuk segera merilis pita 2,6 GHz dan 3,5 GHz. Ketersediaan spektrum ini penting untuk mendukung pengembangan teknologi 4G dan 5G secara merata di Indonesia.

Risiko Tertinggal Jika Biaya Spektrum Mahal

Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional (Infratelnas) Mastel, Sigit Jarot, menyebut performa digital Indonesia masih setara Laos dan Kamboja akibat regulasi spektrum yang tertunda. “Jika pendekatan business as usual tetap dipertahankan, Indonesia berisiko tertinggal lebih dari lima tahun dalam pengadopsian teknologi 5G,” ujarnya.

Pengalaman global menunjukkan bahwa biaya spektrum yang terlalu mahal justru memperlambat investasi jaringan. Akibatnya, kualitas layanan internet bagi konsumen menjadi menurun dan penetrasi digital di daerah terpencil sulit tercapai.

Alternatif Mekanisme Lelang dan Pengelolaan Biaya

Sebagai solusi, muncul usulan untuk menerapkan kembali mekanisme Beauty Contest atau seleksi administratif. Sistem ini diyakini bisa mencapai keseimbangan spektrum antar operator sekaligus memperhatikan dampak sosial dan pemerataan akses.

Selain itu, pemerintah disarankan menarik beban pembayaran di muka ke belakang agar operator memiliki napas finansial untuk belanja modal di tahap awal. Pergeseran fokus dari keuntungan top line ke bottom line dianggap krusial bagi pengembangan ekonomi digital nasional.

Dengan strategi harga yang lebih adil dan mekanisme lelang yang fleksibel, operator diharapkan lebih berani berinvestasi di wilayah terpencil. Hal ini sekaligus menjadi upaya nyata pemerintah untuk memperluas inklusi digital di seluruh pelosok negeri.

Marwan menekankan bahwa pemerataan jaringan digital tidak hanya soal cakupan teknis, tapi juga dampak sosial yang dirasakan masyarakat. Penerapan kebijakan spektrum yang mempertimbangkan aspek sosial diyakini dapat mendorong pembangunan digital yang lebih berkeadilan.

Mastel juga menyoroti pentingnya kecepatan pemerintah dalam merilis frekuensi baru. Keterlambatan dalam regulasi spektrum dapat menurunkan daya saing digital Indonesia di kancah global.

Pita frekuensi 700 MHz menjadi salah satu frekuensi strategis untuk mewujudkan internet cepat di daerah sulit dijangkau. Akses internet di wilayah 3T dapat meningkat signifikan jika harga spektrum ditetapkan sesuai nilai sosialnya.

Selain itu, frekuensi 2,6 GHz dan 3,5 GHz akan mendukung pengembangan 5G secara lebih optimal. Pemerintah diharapkan menyiapkan regulasi yang mendukung operator memperluas jaringan tanpa terbebani biaya tinggi di awal pembangunan.

Keseimbangan antara aspek sosial dan ekonomi dianggap krusial dalam penetapan harga spektrum. Hal ini akan memastikan masyarakat di daerah terpencil mendapatkan akses internet berkualitas dengan biaya yang terjangkau.

ATSI menegaskan bahwa frekuensi bukan sekadar aset teknis, tetapi juga instrumen sosial-ekonomi. Pemanfaatannya yang tepat dapat meningkatkan kualitas hidup dan mendukung pertumbuhan ekonomi berbasis digital di seluruh Indonesia.

Sementara itu, mekanisme Beauty Contest dianggap dapat menjadi model alternatif agar operator yang memiliki komitmen sosial dapat memperoleh spektrum dengan biaya lebih wajar. Hal ini akan mendorong persaingan sehat tanpa mengorbankan pemerataan akses internet.

Marwan menekankan bahwa frekuensi 700 MHz memiliki dampak sosial yang jauh lebih luas daripada nilai ekonominya. Dengan kebijakan yang adil, operator dapat memperluas jaringan ke pelosok tanpa terbebani biaya spektrum yang tinggi.

Jika langkah ini dijalankan dengan tepat, Indonesia berpotensi mengejar ketertinggalan digital dari negara tetangga. Akses internet di wilayah terpencil pun dapat meningkat, membuka peluang ekonomi baru bagi masyarakat lokal.

Dengan demikian, regulasi spektrum yang mengedepankan aspek sosial menjadi kunci bagi transformasi digital nasional. Semua pihak, baik pemerintah maupun operator, memiliki tanggung jawab untuk memastikan internet merata dan berkualitas di seluruh pelosok negeri.

Terkini